Tantangan Implementasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 95 Tahun 2018 menjadi landasan bagi penerapan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) di Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menargetkan, SPBE ini bisa beroperasi secara menyeluruh pada tahun 2023 mendatang. Meskipun demikian, konsep SPBE sejatinya telah dilaksanakan jauh-jauh hari sebelumnya dengan landasan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003, yang lebih dikenal dengan e-government (pemerintahan elektronik).
Meskipun telah memiliki sejarah yang panjang, penerapan sistem pemerintahan elektronik di Indonesia masih belum mampu menghasilkan manfaat yang signifikan. Berdasarkan hasil Pemeringkatan e-government Indonesia (PeGI) yang dilaksanakan pada tahun 2015, penerapan SPBE pada Instansi Pusat rata-rata mendapatkan nilai indeks 2,7 (baik), sedangkan Pemerintah Daerah hanya mendapat nilai indeks 2,5 (kurang) saja. Belum optimalnya implementasi e-government di Indonesia tersebut tidak terlepas dari berbagai masalah dan tantangan dalam pengembangan SPBE.
Di era digital seperti saat ini, sistem pemerintahan berbasis elektronik tidak lagi menjadi sebuah inisiatif, namun keharusan untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman dan teknologi. Guna memastikan bahwa implementasi SPBE dapat berjalan secara efektif dan mencapai tujuan yang diharapkan, pemerintah harus mampu mengatasi berbagai tantangan dalam implementasinya. Tantangan-tantangan tersebut meluputi tata kelola SPBE, kinerja pemerintahan, teknologi informasi dan komunikasi (SPBE), serta Sumber Daya Manusia (SDM).
Belum Adanya Tata Kelola SPBE yang Terpadu Secara Nasional
Salah satu permasalahan utama yang dihadapi dalam implementasi sistem pemerintahan berbasis elektronik adalah kurangnya tata kelola yang terpadu secara nasional. Kajian dewan TIK nasional pada tahun 2016 menemukan bahwa 65% anggaran belanja dan pengembangan aplikasi digunakan untuk membangun aplikasi yang sejenis antar instansi pemerintah. Selain itu, survei infrastruktur pusat data pada tahun 2018 juga menunjukkan terdapat 2700 pusat data di 630 Instansi Pusat dan Pemerintah Daerah, dimana rata-rata instansi memiliki empat pusat data. Namun, utilitas pusat data tersebut hanya ada di angka 30% dari total kapasitas yang tersedia.
Fakta tersebut menunjukan bahwa belanja TIK instansi pemerintahan tidak efisien secara nasional. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa koordinasi di antara instansi pemerintah dalam pengembangan SPBE tidak berjalan dengan efektif, sehingga menyebabkan adanya duplikasi belanja dan kapasitas TIK yang melebihi kebutuhan.
Permasalahan Kinerja Pemerintahan
Permasalahan kedua terletak pada belum optimalnya penerapan sistem pemerintahan berbasis elektronik dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan pelayanan publik. Terdapat sejumlah permasalahan signifikan terkait pengelolaan keuangan negara, akuntabilitas kinerja, persepsi korupsi, dan pelayanan publik. Hasil evaluasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menunjukkan bahwa 55% instansi pemerintah memperoleh nilai di bawah B dalam akuntabilitas kinerja.
Indeks persepsi korupsi oleh Transparency International pada tahun 2017 juga hanya menempatkan Indonesia di peringkat ke-96 dengan nilai 37 dari 100. Menunjukkan implementasi sistem pemerintahan berbasis elektronik masih belum memberikan perkembangan yang signifikan dalam mengatasi korupsi. Terkait pelayanan publik, hasil penilaian Ombudsman menunjukkan sebagian besar instansi berada di zona kuning atau merah, menandakan tingkat kepatuhan yang masih perlu ditingkatkan.
Jangkauan Infrastruktur TIK Belum Merata ke Seluruh Wilayah
Kondisi infrastruktur TIK di Indonesia juga menjadi hambatan dalam implementasi sistem pemerintahan berbasis elektronik, terutama jaringan telekomunikasi. Meskipun sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia sudah terhubung dengan jaringan telekomunikasi, tetapi masih ada beberapa wilayah, terutama di bagian tengah dan timur yang belum terhubung. Berdasarkan data pembangunan infrastruktur TIK dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), terdapat 64 kabupaten/kota di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur Indonesia belum terhubung dengan serat optik nasional.
Keterbatasan Jumlah ASN dengan Kompetensi TIK
Kemajuan TIK membutuhkan peningkatan kompetensi teknis SDM di bidang teknologi yang memadai. Faktanya, pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) pada jabatan fungsional di bidang TIK banyak yang belum memiliki standar kompetensi teknis TIK yang memadai. Keterbatasan pegawai ASN yang memiliki kompetensi teknis TIK akan menjadi hambatan optimalisasi penggunaan teknologi sistem pemerintahan berbasis elektronik.
Dalam menghadapi tantangan pengetahuan dan kompetensi ASN dalam pengelolaan arsip, PrimaDoc hadir sebagai solusi pelatihan kearsipan yang efektif. Layanan pelatihan kami tidak hanya memberikan pemahaman mendalam, tetapi juga membekali para ASN di instansi Anda dengan keterampilan praktis. Selain itu, PrimaDoc menawarkan jasa pengelolaan arsip langsung oleh arsiparis bersertifikat ANRI, memberikan kepercayaan bahwa arsip Anda dikelola dengan standar tertinggi. Tim arsiparis kami siap membantu instansi Anda mengatasi tugas teknis kearsipan selama implementasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik. Dengan PrimaDoc, keberlanjutan dan efisiensi pengelolaan arsip menjadi lebih mudah dan efektif. Ingin berdiskusi lebih mendalam tentang jasa kearsipan PrimaDoc? Hubungi tim marketing PrimaDoc untuk informasi selengkapnya!